Mengenal Imam Abu Hanifah
Dari Herry Nurdi (Majalah
Islam Sabili)
Imam Abu Hanifah
Lelaki yang mulia ini bukan orang Arab. Dia ajam, lahir
dari ayah keturunan persia, tepatnya berdarah Afghanistan. Namanya Nu’man bin
Tsabit bin Zautha bin Mah, tapi sejarah lebih mengenalnya dengan panggilan Imam
Abu Hanifah atau Imam Hanafi. Lahir pada tahun 80 Hijriyah, 10 tahun setelah
waaftanya Rasulullah saw.
Pada umur ke-16, Imam Hanafi muda menunaikan haji ke
tanah suci. Begitu muda pergi menunaikan ibadah haji dengan satu niat suci,
membersihkan dosa-dosa dan mengikat janji suci dengan Allah untuk melakukan
perbuatan mulia. Dari Kufah di Irak, Imam Hanafi memulai perjalanannya. Dalam
perjalanan pulang hajinya, Imam Hanafi muda mendapat mimpi yang membuatnya
sangat gundah. Ia bermimpi, di Madinah dirinya membongkar makam Rasulullah dan
mengeluarkan jasad suci beliau. Mimpi ini membuatnyanya tak tenang. Di Basrah
ia mencari seorang ulamayang terkenal, Ibnu Sirin, penakwil mimpiyang hidup
pada zaman itu. Lewat bibir Ibnu Sirin, imam Hanafi mendapatkan arti mimpinya.
“Jika mimpi itu benar, hendaknya pemilik mimpi itu menghidupkan sunnah
Rasulullah saw dan ia akan mendapatkan limpahan ilmu yang belum pernah didapat
oleh siapapun,” ungkap Ibnu Sirin pada Imam Hanfi muda.
Hati yang gundah itu kini berganti rasa gembira tiada
tara. Mimpi inilah yang mendorong Imam Hanafi untuk mempelajari ilmu agama,
menghadiri halaqah para ulama dan
berburu ilmu kepada siapa saja yang ia anggap mampu. Semasa hidupnya, Imam Hanafi sempat mendapat
ilmu dari empat orang sahabat nabi yaitu Anas bin malik dan Abdullah bin
Abi Aufa di Kufah, Sahal bin Sa’ad di
Madinah dan Abu Thufail bin Watsilah di Makkah. Imam Abu Hanifah juga sempat
berguru pada generasi tabi’in senior masa hidupnya.
Tempat-tempat jauh yang ditinggali para ulama besar
didatanginya untuk berguru, sampai ia
berumur 21 tahun dan merasa siap untuk memberi fatwa sendiri. Dengan
kepercayaan diri yang tinggi, Imam Abu Hanifah menuju Basrah, siap menjawab seluruh pertanyaan umat.
“Lalu mereka mengajukan pertaanyaan, tetapi aku tidak
memiliki jawaban. Hal ini memaksa aku untuk kembali dan tidak meninggalkan
Hammad bin Abi Sulaim sampai akhir hayatnya. Aku menjadi muridnya selama 18
tahun,” terang Imam Hanafi tentang peristiwa yang juga merubah dirinya ini.
Hammad bin Abi Sulaim adalah seorang generasi tabi’in
yang sangat terpandang. Ayahnya adalah seorang pembantu dari Abu Musa al
Asy’ari, sahabat nabi. Sang guru sering mengajak Imam Hanafi pergi ke
halaqah-halaqah para ulam yang mulia, para ahli fiqih, dan hakim-hakim yang
adil. Dari mereka Imam Abu Hanifah bisa
belajar langsung dari sumbernya.
Selain dikenal sebagai sosok ahli hadits dan ilmu agama,
Imam Abu Hanifah juga dikenal sebagai seorang pembuat dan pedagang kain sutra
bermutu tinggi. Karena itu, Imam Abu Hanifah termasuk salah satu ulama yang
terbilang cukup kaya.
Selain terkenal sebagai ulama yang kaya dari imam empat
mazhab, Imam Abu Hanifah juga termasuk salah satu seorang ulamayang
berhadap-hadapan denga penguasa. Pernah
merasakan penjara, dicambuk, dan dihukum dera. Alasan Imam Abu Hanifah dihukum
adalah sering kali karena sikap teguhnya memegang dan membela kebenaran. Fatwa
tak boleh dipegaruhi oleh kekuasaan. Pernah suatu hari, seorang qadi di kota
Kufah menjatuhkan hukum had dua kali pada seorang perempuan gila. Sebabnya,
sang perempuan pernah memaki seorang lelaki yang dijumpainya di jalanan, “Hai
anak dua pezina.” Kalimat anak dua pezina itulah yang menyebabkan qadi kota
Kufah menjatuhkan hukuman had sampai dua kali pada perempuan gila ini.
Imam Abu Hanifah yang mendengar peristiwa hukum ini
segera memberikan respon. “Sang hakim telah melakukan kesalahan, enam jenis
banyaknya,” ujar Imam Abu Hanifah.
Kesalahan pertama, sang hakim menjatuhkan hukuman pada
seseorang yang gila. Padahal orang gila tak bisa dikenai hukuman had. Kedua,
hukuman had dilakukan di masjid. Padahal hukuman had tak boleh dilakukan di
dalam masjid. Ketiga, perempuan gila ini hukum sambil berdiri. Padahal
perempuan seharusnya menerima hukuman had dalam posisi duduk. Keempat, dua kali
hukuman had. Kalaupun memenuhi syarat, seharusnya hukuman had adalah satu.
Kelima, hukuman ini dilaksanakan tanpa hadirnya dua orang yang disebut pezina.
Keenam, dua hukuman had tak boleh dilaksanakan dalam waktu yang sama. Hukuman
had yang satu boleh dilakukan setelahhukuman had pertama mengering.
Qadi kufah yang merasa tak terima digugat keputusan
hukumnya, mengadu pada walikota Kufah.
Segera, setelah walikota mendapatkan pengaduan, ia melarang Imam Abu Hanifah
mengeluarkan fatwa.
Sesungguhnya tak ada kekhawatiran dalam diri Imam Abu
Hanifah atas pelarangan fatwa. Satu-satunya yangmembuatnya khawatir adalah
hilangnya ilmu yang haq jika kondisi seperti ini terus-menerus terjadi.
“Andaikata tidak ada kekhawatiran akan hilangnya ilmu Allah, niscaya aku tidak
akan berfatwa kepada siapapun,” tandasnya.
Imam Abu Hanifah mengerti benar apa artinya umur.
Karenanya ia memanfaatkan waktunya semaksimal mungkin. Untuk mengejar ilmu dan
mengajar ilmu. Kegiatan harinya, bisa tergambarkan dari penuturan seorang muridnya.
“Aku pernah datang ke masjid Abu Hanifah. Aku melihatnya memimpin shalat Subuh
dan memimpin majelis sampai waktu Dhuha. Lalu menjelang Dzuhur, Abu Hanifah
akan tidur sebentar. Setelah memimpin Shalat Dzuhur, Abu Hanifah akan memimpin
majelis sampai Ashar. Selepas shalat Ashar, ia kembali memimpin majelis sampai
Maghrib. Selepas Maghrib Abu Hanifah memimpin majelis sampai Isya. Dan selepas
Shalat Isya, setelah orang-orang tenang
beristirahat, Abu Hanifah akan kembali kemasjid dan mendirikan shalat sampai
menjelang shalat Fajar.”
Fitnah-fitnah besar mendatangi Imam Abu Hanifah di
akhir-akhir hidupnya. Khalifah al-Manshur memberi jabatan sebagai qadi kota
Baghdad kepada Imam Abu Hanifah, tapi ahli fiqih ini menolaknya. Karena ada
beberapa hal yang tidak disetujui oleh Imam Abu Hanifah pada penguasa dari Bani
Abasiyyah ini. Pada umur 70 tahun, Imam Abu Hanifah dijebloskan ke dalam
penjara. Di penjara ini akhirnya Imam Abu Hanifah menghabiskan umurnya.
Di dalam penjara Imam Abu Hanifah mengkhatamkan al-Qur’an
selama sebanyak 7000 kali. Imam Abu Hanifah meninggal pada tahun 150 Hijriyah,
dalam keadaan sujud kepada Allah SWT. Di hari Imam Abu Hanifah meninggal dunia,
di belahan dunia yang lain lahir seorang bayi kecil yang kelak dunia akan
mengenalnya dengan sebutan Imam Syafi’i. Sebuah bukti, Allahakan menjaga ilmu
yang haq dengan kebesaran-Nya.
Di hari kematiannya, Imam Abu Hanifah dishalatkan oleh
enam imam dengan makmum yang berbeda, karena begitu jumlah jamaah yang ingin
mengucapkansalam perpisahan. Di Khaizuran, Baghdad, jasad Imam Abu Hanifah
dikebumikan. Dan selama 20 hari, orang-orang yang mencintainya tak putus-putus
mendirikan shalat ghaib untuknya.
Komentar
Posting Komentar