Mengenal Imam Malik
Dari Herry Nurdi (Majalah
Islam Sabili)
Imam Malik
Pada tahun 93 Hijriyah, lahirlah seorang anak laki-laki
dari keluarga Anas yang tinggal di kota nabi, Madinah al Munawarrah. Kelak,
bayi ini tumbuh sebagai anak yang energik dan kuat. Sampai pada umur 10 tahun,
terus-menerus ia di sibukkan dengan mempelajari ilmu beladiri dan bermain.
Suatu malam, selepas shalat Isya, ayahnya mengumpulkan
anak-anaknya dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar ilmu agama. Semua anak menjawab
pertanyaan sang ayah dengan tepat, tapi tidak dengan anak yang satu ini. Ia tak
bisa memberikan jawaban yang sempurna. Sang ayah tampak marah dan kecewa.
“Kau terlalu asyik dengan merpatimu dan lalai menuntut
ilmu yang akan menyelamatmu,” ujar sang ayah dengan nada keras. Perkataan sang
ayah, membuatnya tak bisa tidur. Risau, gelisah dan tak tenang, itulah yang
dirasakan anak muda yang kelak dalam sejarah umat Isalam mengenalnya sebagai
pendiri madzhab, Imam Malik.
Semalaman ia renungkan perkataan sang ayah. Sampai Subuh,
tak sekejap pun ia bisa memejamkan mata. Maka, selepas shalat Subuh, Imam Malik
muda menemui ibunda menuturkan kegundahannya. “Ibu, insya Allah setelah shalat
Subuh aku mau pergi menuntut ilmu,” ujarnya.
Sang ibu gembira dan bahagia mendengarnya. “Kalau begitu,
kemarilah Pakailah pakaian para pencari ilmu,” kata ibunda. Kemudian Imam Malik
dipakaikan pakaian yang paling bagus yang dimilikinya. Memakai surban yang
paling bagus yang pernah ia punya. Dan sang ibu tak lupa mengolesi minyak wangi
ditubuhnya. Ilmu adalah sesuatu yang mulia, maka datangilah ilmu dengan
kemuliaan yang kita punya.
Selepas shalat Subuh, Imam Malik muda lalu melangkahkan
kakinya menuju rumah Ibnu Hurmuz, seorang yang masuk dalam generasi tabi’in,
orang-orang generasi sahabat. Ibnu Hurmuz adalah seorang yang memiliki pengaruh
besar dalam bidang ilmu agama di Madinah. Namanya selalu dijadikan rujukan,
setiap masalah. Dan Imam Malik, menimba ilmu darinya.
Imam Malik belajar kepada Ibnu Hurmuz selepas shalat
Subuh sampai masuk waktu Dzuhur. Bahkan, kadang Imam Malik masuk ke rumah Ibnu
Hurmuz di pagi buta dan tak keluar sampai malam sudah gelap gulita. Proses
menuntut ilmu seperti ini dilakukan oleh Imam Malik selama 13 tahun tanpa
putus.
Selain kepada Ibnu Hurmuz, Imam Malik juga mempelajari
hadits dan ilmu agama kepada seorang tabi’in lain bernama Nafi, seorang
pembantu Abdullah ibnu Umar , salah seorang sahabat nabi, anak dari Umar bin
Kahttab. Nafi dalam ilmu hadits
ditempatkan pada posisi yang sanagt penting. Misalnya, Imam Bukhari
pernah mengatakan, “Sanad yang paling shahih adalah dari malik, dari Nafi, dari
Ibnu Umar dan dari Rasulullah saw.”
Imam Malik sering kali mendatangi Nafi ketika siang hari,
dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadanya. “Bagaimana pendapat Ibnu Umar
tentang hal ini dan hal itu. ”
Tak hanya mengenakan busana yang terbaik, Imam Malik juga
melengkapi dirinya dengan inovasi-inovasi terbaru yang ia gagas untuk
memudahkan ia mengingat ilmu. Ia membuat bantal yang berisi jerami sebagai
tempat duduk saat halaqah. Terkadang bantal ini beralih fungsi sebagai penahan
dingin di musim dingin. Imam Malik juga selalu membawa tali yang ia ikat dengan
simpul-simpul. Jumlah simpul sama sama dengan jumlah sanad dalam sebuah hadits.
Satu simpul mewakili satu sanad, dan itu memudahkanny dalam mengingat.
Selain kepada Ibnu Hurmuz dan Nafi, Imam Malik juga
belajar pada Rabi’ah ar Ra’yi atau Rabi’ah bin Abi Abdurrahman salah seorang
generasi tabi’in yang sangat tinggi akhlaknya dan sangat kokoh menjaga etika. Ketika
gurunya sang satu ini meninggal, Imam Malik berkata dengan nada sedih, “Manisnya
fiqih telah hilang sejak kematian Rabi’ah bin Abi Abdurrahman.”
Imam Malik sangat menyayangi gurunya, Rabi’ah ar Ra’yi. Demikian
pula Rabi’ah ar Ra’yi, juga mencintai Imam Malik. Sampai-sampai, setiap kali
Imam Malik datang ke halaqahnya, maka Rabi’ah ar Ra’yi akan berkata, “Orang
cerdas datang.”
Imam Malik nyarisa tak pernah belajar jauh dari kota
Madinah. Salah satu sebabnya, para ulama dan ahli ilmu memang belum menyebar
sampai ke pelosok yang jauh. Tapi, bukan berarti Imam Malik tak melakukan
pengembaraan. Imam Malik melakukan pengembaraan intelektual yang sangat besar
dan luas. Ia belajar tak kurang kepada
900 syaikh dan ahli hadits, 70 di antaranya adalah para tabi’in yang pernah
berguru langsung kepada para sahabat Rasulullah saw. Tak hanya penjelajahan
ilmu, Imam Malik juga menjelajah untuk menyampaikan nasihatnya kepada para raja
dan sultan.
Imam Malik mengajarkan,
agar kita sebagai murid berhati-hati memilih guru. “sesungguhnya ilmu
ini adlah agama. Maka perhatikanlah darimana kalian mengambil agama kalian.”
Imam Malik sangat mencintai dan menghargai Rasulullah. Sampai-sampai,
selama di Madinah, Imam Malik tak pernah menunggang kuda, onta atau kendaraan
yang lainnya. “Aku tidak mau naik kendaraan di daerah mana jasad Rasulullah saw
dimakamkan.”
Tak hanya soal berkendara, bukti cintanya pada Rasulullah
juga tampak ketika Imam Malik menyampaikan hadits. Ketika ia membacakan hadits, Imam Malik selalu lebih dulu mandi,
bersuci, membakar wangi-wangian, memakai minyak wangi, duduk sempurana,
merapikan jenggotnya, baru ia memulai membaca hadits. “Aku menghormati
Rasulullah, dan tak mau menyampaikan hadits kecuali dalam keadaan benar-benar
bersuci,” ujarnya.
Maka tak heran, jika dari pribadi seperti ini lahirlah
murid-murid yang juga mulia. Salah satunya adalah Imam Syafi’i rahimahullah.
Komentar
Posting Komentar