Asuransi Terbaik
Sebuah tulisan yang mengingatkan kita, bahwa hanya kepada Allah lah hendaknya kita bertawakal.
Ketika rasa takut miskin menghimpit kita. Ketika hitungan-hitungan
nominal rupiah membius kita. Ketika kekhawatiran akan nasib anak cucu
kita melupakan kita. Hendaklah kita tidak lupa, bahwa hanya kepada Allah
lah kita harusnya bertawakal.
Mari kita simak tulisan Budi Ashari, Lc
berikut, Asuransi Terbaik
------------------------------ ------------------------------ ------------------------------ ----
Bukti cinta orang tua sepanjang jalan adalah mereka memikirkan masa
depan anaknya. Mereka tidak ingin anak-anak kelak hidup dalam kesulitan.
Persiapan harta pun dipikirkan masak-masak dan maksimal.
Para orang tua sudah ada yang menyiapkan tabungan, asuransi bahkan perusahaan. Rumah pun telah dibangunkan, terhitung sejumlah anak-anaknya. Ada juga yang masih bingung mencari-cari bentuk penyiapan masa depan terbaik. Ada yang sedang memilih perusahaan asuransi yang paling aman dan menjanjikan. Tetapi ada juga yang tak tahu harus berbuat apa karena ekonomi hariannya pun pas-pasan bahkan mungkin kurang.
Para orang tua sudah ada yang menyiapkan tabungan, asuransi bahkan perusahaan. Rumah pun telah dibangunkan, terhitung sejumlah anak-anaknya. Ada juga yang masih bingung mencari-cari bentuk penyiapan masa depan terbaik. Ada yang sedang memilih perusahaan asuransi yang paling aman dan menjanjikan. Tetapi ada juga yang tak tahu harus berbuat apa karena ekonomi hariannya pun pas-pasan bahkan mungkin kurang.
Bagi yang telah menyiapkan tabungan dan asuransi, titik terpenting
yang harus diingatkan adalah jangan sampai kehilangan Allah. Hitungan
detail tentang biaya masa depan tidak boleh menghilangkan Allah yang
Maha Tahu tentang masa depan. Karena efeknya sangat buruk. Kehilangan
keberkahan. Jika keberkahan sirna, harta yang banyak tak memberi manfaat
kebaikan sama sekali bagi anak-anak kita.
Lihatlah kisah berikut ini:
Dalam buku Alfu Qishshoh wa Qishshoh oleh Hani Al Hajj dibandingkan
tentang dua khalifah di jaman Dinasti Bani Umayyah: Hisyam bin Abdul
Malik dan Umar bin Abdul Aziz. Keduanya sama-sama meninggalkan 11 anak,
laki-laki dan perempuan. Tapi bedanya, Hisyam bin Abdul Malik
meninggalkan jatah warisan bagi anak-anak laki masing-masing mendapatkan
1 juta Dinar. Sementara anak-anak laki Umar bin Abdul Aziz hanya
mendapatkan setengah dinar.
Dengan peninggalan melimpah dari Hisyam bin Abdul Malik untuk semua
anak-anaknya ternyata tidak membawa kebaikan. Semua anak-anak Hisyam
sepeninggalnya hidup dalam keadaan miskin. Sementara anak-anak Umar bin
Abdul Aziz tanpa terkecuali hidup dalam keadaan kaya, bahkan seorang di
antara mereka menyumbang fi sabilillah untuk menyiapkan kuda dan
perbekalan bagi 100.000 pasukan penunggang kuda.
Apa yang membedakan keduanya? Keberkahan.
Kisah ini semoga bisa mengingatkan kita akan bahayanya harta banyak
yang disiapkan untuk masa depan anak-anak tetapi kehilangan keberkahan. 1
juta dinar (hari ini sekitar Rp 2.000.000.000.000,-) tak bisa sekadar
untuk berkecukupan apalagi bahagia. Bahkan mengantarkan mereka menuju
kefakiran.
Melihat kisah tersebut kita juga belajar bahwa tak terlalu penting
berapa yang kita tinggalkan untuk anak-anak kita. Mungkin hanya setengah
dinar (hari ini sekitar Rp 1.000.000,-) untuk satu anak kita. Tapi yang
sedikit itu membaur dengan keberkahan. Ia akan menjadi modal berharga
untuk kebesaran dan kecukupan mereka kelak. Lebih dari itu, membuat
mereka menjadi shalih dengan harta itu.
Maka ini hiburan bagi yang hanya sedikit peninggalannya.
Bahkan berikut ini menghibur sekaligus mengajarkan bagi mereka yang
tak punya peninggalan harta. Tentu sekaligus bagi yang banyak
peninggalannya.
Bacalah dua ayat ini dan rasakan kenyamanannya,
Ayat yang pertama,
Ayat yang pertama,
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي
الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا
فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا
كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota
itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang
ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Tuhanmu menghendaki agar
supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya
itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu.” (Qs. Al Kahfi: 82)
Ayat ini mengisahkan tentang anak yatim yang hartanya masih terus
dijaga Allah, bahkan Allah kirimkan orang shalih yang membangunkan
rumahnya yang nyaris roboh dengan gratis. Semua penjagaan Allah itu
sebabnya adalah keshalihan ayahnya saat masih hidup.
Al Qurthubi rahimahullah menjelaskan,
Al Qurthubi rahimahullah menjelaskan,
“Ayat ini menunjukkan bahwa Allah ta’ala menjaga orang shalih pada
dirinya dan pada anaknya walaupun mereka jauh darinya. Telah
diriwayatkan bahwa Allah ta’ala menjaga orang shalih pada tujuh
keturunannya.”
Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menukil kalimat Hannadah binti Malik Asy Syaibaniyyah,
“Disebutkan bahwa kedua (anak yatim itu) dijaga karena kesholehan
ayahnya. Tidak disebutkan kesholehan keduanya. Antara keduanya dan ayah
yang disebutkan keshalihan adalah 7 turunan. Pekerjaannya dulu adalah
tukang tenun.”
Selanjutnya Ibnu Katsir menerangkan,
“Kalimat: (dahulu ayah keduanya orang yang sholeh) menunjukkan bahwa seorang yang shalih akan dijaga keturunannya. Keberkahan ibadahnya akan melingkupi mereka di dunia dan akhirat dengan syafaat bagi mereka, diangkatnya derajat pada derajat tertinggi di surga, agar ia senang bisa melihat mereka, sebagaimana dalam Al Quran dan Hadits. Said bin Jubair berkata dari Ibnu Abbas: kedua anak itu dijaga karena keshalihan ayah mereka. Dan tidak disebutkan kesholehan mereka. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa ia adalah ayahnya jauh. Wallahu A’lam
“Kalimat: (dahulu ayah keduanya orang yang sholeh) menunjukkan bahwa seorang yang shalih akan dijaga keturunannya. Keberkahan ibadahnya akan melingkupi mereka di dunia dan akhirat dengan syafaat bagi mereka, diangkatnya derajat pada derajat tertinggi di surga, agar ia senang bisa melihat mereka, sebagaimana dalam Al Quran dan Hadits. Said bin Jubair berkata dari Ibnu Abbas: kedua anak itu dijaga karena keshalihan ayah mereka. Dan tidak disebutkan kesholehan mereka. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa ia adalah ayahnya jauh. Wallahu A’lam
Ayat yang kedua,
إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ
إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ
“Sesungguhnya pelindungku ialahlah Yang telah menurunkan Al Kitab (Al
Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.” (Qs. Al A’raf: 196)
Ayat ini mengirimkan keyakinan pada orang beriman bahwa Allah yang
kuasa menurunkan al Kitab sebagai bukti rahmatNya bagi makhlukNya, Dia
pula yang akan mengurusi, menjaga dan menolong orang-orang shalih dengan
kuasa dan rahmatNya. Sekuat inilah seharusnya keyakinan kita sebagai
orang beriman. Termasuk keyakinan kita terhadap anak-anak kita
sepeninggal kita.
Untuk lebih jelas, kisah orang mulia berikut ini mengajarkan aplikasinya.
Ketika Umar bin Abdul Aziz telah dekat dengan kematian, datanglah Maslamah bin Abdul Malik. Ia berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, engkau telah mengosongkan mulut-mulut anakmu dari harta ini. Andai anda mewasiatkan mereka kepadaku atau orang-orang sepertiku dari masyarakatmu, mereka akan mencukupi kebutuhan mereka.”
Ketika Umar bin Abdul Aziz telah dekat dengan kematian, datanglah Maslamah bin Abdul Malik. Ia berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, engkau telah mengosongkan mulut-mulut anakmu dari harta ini. Andai anda mewasiatkan mereka kepadaku atau orang-orang sepertiku dari masyarakatmu, mereka akan mencukupi kebutuhan mereka.”
Ketika Umar mendengar kalimat ini ia berkata, “Dudukkan saya!”
Mereka pun mendudukkannya.
Umar bin Abdul Aziz berkata, “Aku telah mendengar ucapanmu, wahai
Maslamah. Adapun perkataanmu bahwa aku telah mengosongkan mulut-mulut
anakku dari harta ini, demi Allah aku tidak pernah mendzalimi hak mereka
dan aku tidak mungkin memberikan mereka sesuatu yang merupakan hak
orang lain. Adapun perkataanmu tentang wasiat, maka wasiatku tentang
mereka adalah:
إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ
Anaknya Umar satu dari dua jenis: shalih maka Allah akan mencukupinya
atau tidak sholeh maka aku tidak mau menjadi orang pertama yang
membantunya dengan harta untuk maksiat kepada Allah.” (Umar ibn Abdil
Aziz Ma’alim At Tajdid wal Ishlah, Ali Muhammad Ash Shalaby)
Begitulah ayat bekerja pada keyakinan seorang Umar bin Abdul Aziz. Ia
yang telah yakin mendidik anaknya menjadi shalih, walau hanya setengah
dinar hak anak laki-laki dan seperempat dinar hak anak perempuan, tetapi
dia yakin pasti Allah yang mengurusi, menjaga dan menolong anak-anak
sepeninggalnya. Dan kisah di atas telah menunjukkan bahwa keyakinannya
itu benar.
Umar bin Abdul Aziz sebagai seorang khalifah besar yang berhasil
memakmurkan masyarakat besarnya. Tentu dia juga berhak untuk makmur
seperti masyarakatnya. Minimal sama, atau bahkan ia punya hak lebih
sebagai pemimpin mereka.
Tetapi ternyata ia tidak meninggalkan banyak harta. Tak ada tabungan
yang cukup. Tak ada usaha yang mapan. Tak ada asuransi seperti hari ini.
Tapi tidak ada sedikit pun kekhawatiran. Tidak tersirat secuil pun
rasa takut. Karena yang disyaratkan ayat telah ia penuhi. Ya, anak-anak
yang shalih hasil didikannya.
Maka izinkan kita ambil kesimpulannya:
Bagi yang mau meninggalkan jaminan masa depan anaknya berupa
tabungan, asuransi atau perusahaan, simpankan untuk anak-anak dari harta
yang tak diragukan kehalalannya.
Hati-hati bersandar pada harta dan hitung-hitungan belaka. Dan lupa akan Allah yang Maha Mengetahui yang akan terjadi.
Jaminan yang paling berharga –bagi yang berharta ataupun yang tidak-,
yang akan menjamin masa depan anak-anak adalah: keshalihan para ayah
dan keshalihan anak-anak.
Dengan keshalihan ayah, mereka dijaga.
Dan dengan keshalihan anak-anak, mereka akan diurusi, dijaga, dan ditolong Allah.
Komentar
Posting Komentar